Pages

Allah SWT. berfirman:

Sesungguhnya, orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. (Q.S. Fathir:29)

Kamis, 01 Juni 2023

Trend Baru Studi Qur'an

Sumber gambar: amust.com.au


Beberapa tahun terakhir telah menyaksikan perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam studi ilmiah Al-Qur’an dan tafsirnya baik dari segi jumlah jilid yang telah diproduksi maupun cakupan isu yang luas. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa bidang studi al-Qur’an saat ini telah menjadi “mahkota” studi Islam. Bagi sejarawan Islam awal, misalnya, Al-Qur’an merupakan dokumen tertulis paling awal yang menyertai kemunculan Islam ke dalam sejarah.

Dikutip dari buku New Trends in Qur'anic Studies: Text, Context, and Interpretation karya Mun'im Sirry.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

New Trends in Qur'anic Studies: Text, Context, and Interpretation pdf

The Qur'an with Cross-References pdf

Controversies over Islamic Origins pdf

Selasa, 16 Mei 2023

Peta Gerakan Feminisme Muslim di Indonesia

Sumber gambar: bincangmuslimah.com

Membincangkan Arah Gerakan Feminisme Muslim di Indonesia penting dan relevan pada saat ini. Ada sekurangnya tiga alasan yang Alimatul Qibtiyah ajukan. Pertama, adanya kompleksitas wacana perempuan dalam berbagai upaya peningkatan kesadaran perempuan dan persoalan yang dihadapi perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek perempuan setidaknya diperdebatkan dalam wacana seputar status, tubuh, peran, dan pemikirannya. Status perempuan sering dipahami sebagai makhluk atau jenis kelamin nomor dua (second sex). Tubuh perempuan, sering dihubungkan dengan simbol kesucian, kesuburan, pemuas, hingga disebut sebagai sumber mala petaka. Adapun, peran perempuan, dianggap mengurusi wilayah dapur, sumur, kasur, mendidik anak, hingga sebagai penentu masa depan bangsa. Sehingga, partisipasi perempuan dalam peran-peran tersebut, pada gilirannya juga dikait-kaitkan dengan preferensi pemikiran perempuan yang membagi perempuan dalam berbagai kelompok pemikiran

 

Alasan kedua, kompleksitas wacana perempuan tersebut mengantarkan pada dinamika dan sekaligus ketegangan mengenai pemahaman feminisme, baik di internal kelompok muslim, dan juga di antara feminis muslim dengan pemahaman gerakan feminis lainnya (baca: Barat). Di internal muslim sendiri terdapat perbedaan subtansial antara penafsiran kelompok progresif, moderat dan konservatif. Oleh kelompok konservatif dan mesoginis, misalnya, tafsir agama tentang tubuh dan peran perempuan diposisikan sebagai mahluk lemah, sensitif dan penyayang. Sehingga, menurut mereka sudah sewajarnya perempuan ditempatkan di rumah dengan peran mengurus anak. Para feminis muslim yang cenderung dekat dengan tafsir moderat dan progresif menolak tafsir ini karena justru bertentangan dengan semangat Islam memuliakan perempuan di segala lini kehidupan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat.

 

Para feminis muslim justru menggugat semangat beragama konservatif tidak sejalan dengan ajaran Rosulullah SAW yang menempatkan perempuan seimbang dan setara dengan laki[1]laki.1 Rosulullah diceritakan melakukan tugas domestik dan tidak menghalangi peran publik perempuan. Data sejarah menunjukan jumlah ulama dan ilmuan perempuan sangat banyak di zaman Rasulullah dan jumlahnya terus berkurang sejak beliau wafat sampai abad ke-5 Hijriah, dan mulai terekam kembali keberadaannya semakin bertambah setelah abad ke 6 Hijriah sampai sekarang.

 

Di dalam literatur sejarah peradaban Islam juga disebutkan bahwa pendapat publik perempuan berperan penting dalam proses turunnya wahyu, seperti turunnya ayat 35 dari surat al-Ahzab yang diawali oleh pertanyaan Ummul Mukminin Ummu Salamah ra tentang nilai-nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, pernah 60-an sahabiyat (perempuan-perempuan sahabat Nabi SAW) mendatangi Rosullullah SAW dan mengadukan kebiasaan suami mereka yang sering memukul istrinya. Kedatangan mereka membuat Rosullullah mengecam suami yang suka memukul isteri. Belum lagi peran penting Sayidina ‘Aisyah ra di dalam meriwayatkan hadits yang sekaligus tercatat sebagai salah satu perawi hadist terbanyak. Dalam urusan diplomasi politik, peran Ummul Mukminin Ummu Salamah ra tak dapat dilupakan dalam menguatkan Perjanjian Hudaibiyah.

 

Data tersebut mengindikasikan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi peran publik perempuan, sehingga ketika peran tersebut dimanipulasi oleh penafsiran mesoginis, di situlah para feminis muslim bergerak melawan. Tak jarang gerakan para feminis muslim ini dianggap berlebihan, sekular, dan dituduh dipengaruhi pemikiran feminisme Barat. Padahal, oleh para feminis Barat, feminisme muslim dianggap “kurang feminis” dan masih dibuai oleh budaya patriarkhi. Keterlibatan para feminis muslim dalam memperjuangkan hak-hak asasi dalam rumah tangga, kerap dipahami oleh feminis sekular sebagai seseorang yang tidak dapat lepas dari bayang-bayang laki-laki. Kemampuannya menyuarakan pengalamannya, terkadang masih diragukan apakah ia benar-benar dapat menyuarakan keinginannya atau sebenarnya dia sedang menyuarakan keinginan patriarkhi sehingga feminis Barat dari kalangan menengah merasa bahwa feminis lain membutuhkan suaranya dan keterlibatannya (speaking for others).

 

Dengan situasi ketegangan di atas, saya merasa penting mengajukan alasan ketiga, yakni adanya kekhasan praktik feminis muslim dalam meramu dan mencari titik temu di antara dinamika dan ketegangan tersebut. Feminis muslim mempunyai kepiawaian di dalam meramu dan mencari titik temu antara agama dan feminisme. Di sini Alimatul Qibtiyah hendak menegaskan bahwa menjadi feminis sekaligus menjadi muslim yang “agamis” adalah hal yang sangat mungkin, walaupun dalam praktiknya keduanya akan kerap bernegosiasi untuk menemukan titik temu pandangan yang sering berbeda. Tidak dapat dipungkiri bahwa para feminis muslim memperdebatkan kata “Islam” dan “feminisme” pada persoalan apakah feminisme sesuai dengan ajaran Islam atau tidak; juga apakah seseorang bisa begitu saja mengaitkan keyakinannya dengan posisi feminisme tertentu atau menggabungkannya secara bersamaan. Perdebatan tersebut erat kaitannya dengan polemik antara dunia Barat dan Timur dimana orang memandang feminisme sebagai Barat dan Islam memiliki dimensi nilainya sendiri.

 

 

Dikutip dari Pidato Pengukuhan Guru Besar Alimatul Qibtiyah.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Arah Gerakan Feminis Muslim di Indonesia pdf


Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Sumber gambar: Ma'had Aly Jakarta

Sejauh ini tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama timur tengah dan nusantara. Meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber pemikiran, dan khusunya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada, dan bagaimana gagasan yang ditransmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.

Lebih jauh, ketika jaringan keilmuan itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek “organisasional” jaringan ulama di timur tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian lain dunia Islam. Tidak ada kajian yang membahas “kandungan intelektual” yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal kajian tentang aspek intelektual ini sangan penting untuk emngetahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama.

Kajian ini berupaya menjawab beberapa masalah pokok; Pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama timur tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan? Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Bagaimana modus transmisi itu? Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di nusantara?

Berbeda dengan studi-studi yang ada tentang Islam di Indonesia praabad ke-19, yang biasanya mendasarkan pembahasannya pada sumber-sumber Barat dan lokal, Azyumardi Azra berusaha semaksimal mungkin menggali dan menggunakan sumber-sumber berbahasa Arab. Tampaknya, inilah buku pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam pengkajian yang berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.

 

Dikutip dari buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII karya Azyumardi Azra.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII pdf

The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries pdf

Islam Indonesia 2020 pdf

Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam pdf

The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia pdf


Selasa, 07 Februari 2023

Islam di Bali; Historisitas dan Politik Tingkat Tinggi

Sumber: kompas.tv


Sesuai dengan kondisi masyarakat dan pemerintahan yang ada dalam zamannya, maka sejarah penyebaran Islam di Indonesia melalui dua jalur, yaitu melalui pertama, melalui jalur “politik tinggi”.

Pada waktu Islam mulai menjamah kepulauan Nusantara, di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan besar dengan raja dan tokoh-tokoh pemerintahan yang mempunyai kharisma yang luar biasa. Para raja yang didampingi oleh pendeta-pendeta sebagai penasehatnya, dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa. Bahkan sampai ada anggapan bahwa sabda raja adalah sabda Tuhan. Raja adalah pangkal hidup dan matinya rakyat.

 

Melihat kenyataan di atas, para alim ulama terutama para muballigh menggunakan plitik mendekati para raja atau mereka yang bisa berpengaruh pada raja. Salah satu cara di antaranya degan taktik pendekatan keluarga, misalnya dengan jalan perkawinan. Apapun yang dipergunakan, namun dengan tujuan akhir ialah berusaha sekuat tenaga agar raja yang dimaksudkan bisa di Islamkan. Mudah dipahami kalau hal ini berhasil, akan mempunyai pengaruh yang besar sekali; dalam arti bahwa dapat dipastikan akan banyak rakyat yang mengikuti tindakan rajanya.

 

Kedua, masuknya Islam ke Nusantara melalui jalur perdagangan. Kegiatan ini biasanya terjadi di antara rakyat kebanyakan, terutama di daerah pantai. Dengan cara ini hampir seluruh kota pantai di Nusantara ini dijamah oleh pedagang Islam. Pertama-tama agama Islam menanamkan keyakinan di daerah yang merupakan pusat perdagangan misalnya Malaka, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Maluku.

 

Dari tempat-tempat ini, kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya. Perkembangan di sekitar Malakan sangat pesat, karena kota itu menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara

 

Maluku menjadi pusat pengembangan Islam, karena pada waktu itu rempah-rempah dari Maluku merupakan barang dagangan yang mempunyai nilai tinggi. Dari perhubungan perdagangan antar pulau itulah pelayar-pelayar Jawa, Bugis, dan lain-lainnya menjadi pemeluk agama Islam dan kemudian ikut menyebarkannya ke daerah yang lain.

 

Berdasarkan catatan sejarah, proses pengembangan seperti tersebut di atas sudah berlangsung sejak abad ke-XV Masehi. Akibat itu, lahirlah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Aceh, Minangkabau, Ternate, Goa, Banjar (Kalimantan), Kutai, dan tempat-tempat lain. Agama Islam mulai berkembang di Jawa mulai tahun 1416 yang disebarluaskan oleh mubaligh dari Malaka, Persia, dan Gujarat. Sejak itu, raja-raja dan tokoh masyarakat, yang semula beragama Hindu dan Budha, mulai memeluk agama Islam.

 

Ketika sebagian terbesar penduduk yang semula beragama Hindu dan Budha sesudah beralih ke agama Islam masih ada sebagian kecil penduduk Jawa terutama Jawa Timur, khususnya Belambangan tetap bertahan dalam agama Hindu. Bahkan, sejarah juga mengatakan bahwa mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, melarikan diri ke daerah Belambangan atau ke Bali.

 

Demikianlah dari keadaan di atas, mulailah Islam menginjakkan kaki di pulau Bali.

 

Dikutip dari buku Islam di Bali; Sejarah masuknya agama Islam ke Bali.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Islam di Bali; Sejarah masuknya agama Islam ke Balipdf

Studi Quran: Sebuah Terjemahan dan Komentar Baru

Sumber: Islami.co

Al-Qur'an bagi umat Islam adalah Firman Tuhan secara verbatim, yang diwahyukan selama periode dua puluh tiga tahun dari misi kenabian Nabi Muhammad melalui agen Malaikat Jibril (Jibrīl atau Jabraʾīl). Makna, bahasa, dan setiap kata dan huruf dalam Al-Qur'an, bunyinya saat dibacakan, dan teksnya yang tertulis di berbagai permukaan fisik semuanya dianggap suci. Al-Quran adalah wahyu lisan dalam bahasa Arab yang pertama kali didengar oleh Nabi dan kemudian ditulis dalam huruf Arab dalam sebuah buku yang terdiri dari 114 surat (bab) dan lebih dari 6.200 ayat (āyāt), disusun menurut urutan yang juga diturunkan. Dianggap sebagai Kitab (al-Kitāb) oleh semua Muslim, ia memiliki banyak nama, seperti al-Furqān (“Pembeda”) dan al-Hudā ("Petunjuk"), tetapi nama yang paling umum digunakan adalah al-Qurʾān, yang berarti “Bacaan”.

Dengan cara yang sama orang Kristen menyebut kitab suci mereka sebagai Kitab Suci, orang Muslim biasanya menyebut kitab mereka sebagai al-Qurʾān al-Majīd (“Al-Quran yang Agung”; 50:1; 85:21) atau al-Qurʾān al-Karīm (“Al-Quran yang Mulia”; 56:77). Dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Quran (juga Quran), itu adalah pusat teofani Islam dan sumber dasar dan akar dari semua yang otentik Islam, dari metafisika, angelologi, dan kosmologi hukum dan etika, dari berbagai seni dan ilmu pengetahuan untuk struktur sosial, ekonomi, dan bahkan pemikiran politik.

 

Al-Qur'an adalah teman setia umat Islam dalam perjalanan hidup. Syairnya adalah bunyi pertama yang dibacakan ke telinga anak yang baru lahir. Itu dibacakan selama upacara pernikahan, dan ayat-ayatnya biasanya menjadi kata-kata terakhir yang didengar seorang Muslim saat mendekati kematian. Dalam masyarakat Islam tradisional, suara bacaan Al-Qur'an ada di mana-mana, dan itu menentukan ruang di mana laki-laki dan perempuan menjalani kehidupan sehari-hari mereka; ini masih berlaku untuk sebagian besar di banyak tempat bahkan hari ini.

 

Adapun Al-Qur'an sebagai sebuah kitab, terdapat di hampir setiap rumah Muslim dan dibawa atau dipakai dalam berbagai bentuk dan ukuran oleh laki-laki dan perempuan untuk perlindungan saat mereka melakukan aktivitas sehari-hari. Di banyak bagian dunia Islam, hal itu diadakan untuk dilewati seseorang ketika memulai perjalanan, dan masih ada kota-kota Islam tradisional saat ini yang gerbangnya berisi Al-Qur'an, di mana setiap orang yang masuk atau keluar kota lewat. Al-Qur'an adalah sumber berkah atau rahmat (barakah) yang selalu ada yang dialami secara mendalam oleh umat Islam sebagai meresapi seluruh kehidupan.

 

Karena Alquran adalah realitas sentral, sakral, dan diwahyukan bagi umat Islam, The Study Quran membahasnya seperti itu dan tidak membatasinya hanya pada karya sejarah, sosial, atau linguistik yang dipisahkan dari karakternya yang sakral dan diwahyukan. Untuk tujuan ini, fokus The Study Quran adalah pada penerimaan dan interpretasi Al-Qur'an dalam tradisi intelektual dan spiritual Muslim, meskipun ini tidak berarti bahwa Muslim adalah satu-satunya audiens yang dituju, karena karya ini dimaksudkan untuk berguna bagi berbagai sarjana, guru, siswa, dan pembaca umum. Dengan Kitab inilah, yang pembacaannya membuat Muslim dari Sumatra hingga Senegal menangis, dan bukan hanya dengan teks yang penting untuk studi filologi Semit atau kondisi sosial Arab abad pertama/ketujuh, studi ini membahasnya.

 

Kitab ini, menurut Islam, diturunkan oleh Jibril kepada Nabi selama dua puluh tiga tahun misi kenabiannya pada kesempatan yang berbeda selama siang dan malam, baik di Makkah dan Madinah, sedemikian rupa sehingga, meskipun kata-kata Al-Qur'an keluar dari mulutnya, Pengarangnya adalah Allah. Nabi adalah alat yang melaluinya realitas Al-Qur'an, yang ada bersama Tuhan pada tingkat realitas di luar waktu, dalam apa yang oleh umat Islam disebut Kitab yang Diawetkan (al-lawḥ al-maḥfūẓ; 85:22), diwahyukan kepada manusia dan wanita di dunia ini. Itulah sebabnya wahyu sendiri sering digambarkan sebagai “turun” (tanzīl), yang berarti bahwa Al-Qur'an adalah realitas sebelum diturunkan atau diturunkan kepada Nabi dan karena itu bukan kata-katanya sendiri, seperti yang diklaim oleh mereka yang menyangkal sifat wahyu. Alquran selama berabad-abad.

 

Namun sesuatu dari realitas jiwa Nabi hadir dalam Al-Qur'an, dan itulah sebabnya, ketika ditanya tentang karakternya, istrinya ʿĀ’ishah menjawab, “Karakternya adalah Al-Qur'an." Sesaat sebelum kepergiannya dari alam bumi, Nabi berkata dalam hadits terkenal, atau hadis, “Aku tinggalkan di antara kalian sesuatu yang sangat penting dan harus diikuti; Anda tidak akan tersesat jika Anda memegangnya setelah saya pergi, satu bagian lebih penting dari yang lain: AL-Quran, yang merupakan tali yang direntangkan dari Surga ke bumi, dan kerabat dekat saya, yang termasuk dalam rumah tangga saya. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain sampai mereka turun di akhirat; jadi pertimbangkan bagaimana Anda bertindak terhadap mereka setelah kepergian saya.

 

Pesan Alquran

 

Apa tema besar yang dibahas oleh tulisan suci ini? Al-Qur'an terutama mengandung doktrin tentang sifat realitas pada semua tingkatannya, dari Realitas Absolut Itu Sendiri, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, hingga realitas penciptaan baik makrokosmik maupun mikrokosmik. Ini memberikan wahyu penuh Allah, atau Tuhan, sebagai Realitas tertinggi Yang Keesaannya adalah pusat pesan Islam. Tuhan itu Esa, sekaligus impersonal dan personal, transenden dan imanen, agung dan indah, melampaui semua yang dapat kita bayangkan dan lebih dekat dengan kita daripada urat leher kita, seperti yang dinyatakan secara puitis oleh Quran sendiri (50:16).

 

Al-Qur'an juga mengungkapkan sebuah galaksi Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi, yang karena diturunkan bersifat suci dan menyediakan sarana tidak hanya untuk mengenal Tuhan, tetapi juga untuk kembali kepada-Nya. Dengan demikian, mereka memainkan peran sentral tidak hanya dalam metafisika dan teologi Islam, tetapi juga dalam aspek praktis dan ritual kehidupan religius dan spiritual Islam. Sebagaimana Al-Qur'an sendiri nyatakan, Kepunyaan Allah Nama-nama Terindah (7:180; cf. 17:110; 20:8; 59:24); kemudian memerintahkan orang-orang beriman untuk memanggil-Nya melalui Nama-nama ini (7:180). Doktrin Islam berdasarkan Al-Qur'an membedakan antara Dzat Ilahi, yang melampaui semua nama, kualitas, atribut, dan deskripsi; Nama, Sifat, dan Sifat-Nya; dan Perbuatan-Nya, yang mencakup penciptaan dan pemeliharaan seluruh dunia dan semua makhluk di dalamnya dan operasi Kehendak-Nya yang terus-menerus dalam ciptaan-Nya, terutama tatanan manusia, di mana Kasih dan Rahmat-Nya serta Keadilan dan Penghakiman-Nya selalu ada.

 

Kesaksian iman dalam Islam, yaitu syahadat pertama, lā ilāha illa'llāh (“Tidak ada tuhan selain Allah”), sebuah ungkapan yang diungkapkan dalam Al-Quran sendiri (37:35; 47:19), adalah tidak hanya pernyataan tertinggi tentang Keesaan dan Transendensi Ilahi, tetapi juga sarana untuk mengintegrasikan kembali semua kualitas positif ke dalam Yang Esa. Syahadat juga berarti bahwa pada akhirnya tidak ada keindahan selain Keindahan Ilahi, tidak ada kebaikan selain Kebaikan Ilahi, tidak ada kekuatan selain Kekuatan Ilahi, dan seterusnya. Secara metafisik itu berarti bahwa pada akhirnya tidak ada realitas selain Realitas Ilahi.

 

Al-Qur'an juga membahas sepenuhnya tentang sifat manusia. Itu mengajarkan kita siapa kita, mengapa kita diciptakan dan ditempatkan di bumi ini, apa tujuan hidup kita, apa tanggung jawab dan hak kita menurut Hukum Ilahi, apa yang perlu kita ketahui tentang keabadian jiwa manusia dan jiwanya. keadaan anumerta, dan konsekuensi dari bagaimana kita hidup di dunia ini untuk keadaan kita setelah kematian. Meskipun ia membahas laki-laki dan perempuan di sebagian besar ayat-ayatnya, namun di beberapa tempat juga membahas secara eksplisit makna penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan atau berpasangan (zawj), kesucian seksualitas, pentingnya keluarga, dan tanggung jawab masing-masing gender terhadap yang lain dalam pernikahan. Yang juga diperhatikan adalah hubungan yang benar antara individu, masyarakat, dan ciptaan Tuhan lainnya.

 

Tidak ada kitab suci yang kita ketahui berbicara lebih banyak tentang kosmos dan dunia alam daripada Al-Qur'an, di mana orang menemukan ajaran yang luas tentang kosmogenesis, sejarah kosmis, peristiwa eskatologis yang menandai akhir dari tatanan kosmik seperti yang ada sekarang, dan fenomena alam sebagai mengungkapkan Kebijaksanaan Ilahi. Faktanya, Al-Qur'an menyebut fenomena ini sebagai ayat ("tanda", atau simbol), menggunakan kata yang sama yang digunakan untuk ayat-ayat Kitab Suci. Al-Qur'an juga berbicara tentang kehidupan dan asal-usulnya dan tentang hubungan semua makhluk, baik yang hidup maupun mati, dari hewan dan tumbuhan, hingga gunung, laut, dan bintang, hingga Tuhan. Dalam arti tertentu, Al-Qur'an diturunkan ke seluruh sektor kosmis dan juga kepada umat manusia, dan banyak orang bijak Muslim selama berabad-abad menyebut kosmos itu sendiri sebagai wahyu, bahkan wahyu primordial. Itulah sebabnya mereka begitu sering menyebut kosmos sebagai “al-Quran kosmis” (al-qurʾān al-takwīnī), yang makna “ayat-ayatnya” hanya dapat dipahami melalui “al-Qur’an yang tertulis” (al-qur’ān al-tadwīnī), yaitu kitab Al-Qur'an yang merupakan kitab suci umat Islam.

 

Tentu saja, seperti yang ditunjukkan oleh banyak tradisi Nabi (aḥādīth, ḥadīth), Al-Qur'an memiliki makna lahiriah (ẓāhir) dan makna batiniah (bāṭin), bahkan beberapa makna batin, yang paling dalam di antaranya dikatakan, menurut tradisi, hanya diketahui oleh Tuhan. Memahami berbagai tingkat makna teks Alquran sangat penting untuk belajar “membaca” buku kosmik dan untuk memahami sepenuhnya semua ajarannya, termasuk metafisika, kosmologi, ilmu tentang keadaan manusia, eskatologi, dan kehidupan spiritual manusia. yang Al-Qur'an bicarakan.

 

Untuk kembali ke pokok bahasan dan tema utama yang disebutkan dalam Al-Qur'an, penting untuk ditekankan bahwa Al-Qur'an adalah sumber fundamental Hukum Islam (al-Sharīʿah) dan bahwa, meskipun secara historis Nabi telah disebut, seperti Musa, seorang legislator, pembuat undang-undang tertinggi dianggap dalam Islam sebagai Tuhan itu sendiri, yang sering disebut al-Shāriʿ, "Pembuat Undang-undang". Beberapa ratus ayat Al-Qur'an berurusan dengan hukum secara konkret, sementara yang lain berurusan dengan prinsip-prinsip yang menjadi dasar hukum wahyu. Bahkan, bagi umat Islam Syariat Islam, atau Hukum Ilahi, adalah perwujudan nyata dari Kehendak Tuhan sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur'an untuk para pengikut Islam; dan dari sudut pandang Islam kitab suci dari semua agama yang diwahyukan Tuhan, yang masing-masing memiliki syariahnya sendiri (lihat 5:48), memiliki fungsi yang sama dalam agama-agama tersebut. Bagi umat Islam, yang menerima Al-Qur'an sebagai Firman Tuhan, oleh karena itu, mengikuti Hukum Ilahi adalah dasar dan dasar untuk menjalankan agama mereka.

 

Al Quran juga merupakan kitab etika. Ini memberikan kriteria untuk pembedaan tidak hanya antara kebenaran dan kepalsuan, keindahan dan keburukan, tetapi juga baik dan jahat. Meskipun menekankan bahwa manusia harus menggunakan karunia kecerdasan yang diberikan Tuhan (al-ʿaql) untuk membedakan apa yang benar, indah, dan baik, itu juga menegaskan bahwa perlu untuk memiliki iman pada wahyu yang memberikan penghakiman terakhir sebagai untuk apa yang benar dan baik dan pada kenyataannya memungkinkan kecerdasan manusia untuk bekerja sepenuhnya daripada berhenti berkembang oleh nafsu manusia. Selain itu, ajaran etika Al-Qur'an menyangkut penanaman kebajikan yang secara khusus berkaitan dengan individu, dan kualitas etika sosial, seperti keadilan dan kemurahan hati, yang merupakan dasar bagi setiap masyarakat yang dapat disebut Islami dengan benar. Selain itu, dari sudut pandang Al-Qur'an hak-hak individu dan hak-hak masyarakat tidak saling bertentangan atau bertentangan, seperti yang kadang-kadang dirasakan dalam masyarakat Barat modern.

 

Sebagai sumber fundamental agama Islam, Al-Qur'an mengandung ajaran, termasuk ajaran ekonomi dan politik, yang berkaitan dengan penganut individu dan masyarakat Islam secara keseluruhan. Ini juga berisi instruksi untuk berbagai praktik keagamaan individu dan khususnya ritus, yang rinciannya disediakan oleh sunnah (“kebiasaan”) dan aḥādīth (perkataan, tindakan, dan persetujuan diam-diam) Nabi. Tetapi Al-Qur'an juga menetapkan praktik dan institusi keagamaan komunal yang mendasar bagi masyarakat Islam secara keseluruhan.

 

Banyak yang menyadari bahwa Al-Qur'an berkaitan dengan kehidupan beragama serta hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan individu dan tatanan sosial, tetapi sedikit yang menyadari bahwa Al-Qur'an juga merupakan pedoman bagi kehidupan spiritual batin. Memperhatikan makna batin Al-Qur'an menghasilkan kesadaran bahwa Al-Qur'an tidak hanya berisi ajaran tentang menciptakan tatanan sosial yang adil dan menjalani kehidupan yang saleh yang menghasilkan kembali kepada Tuhan setelah kematian dalam keadaan bahagia; itu juga menyediakan sarana untuk kembali kepada Tuhan di sini dan saat ini selagi masih di dunia ini. Oleh karena itu, Al-Qur'an juga merupakan panduan akal dan spiritual untuk mencapai kebenaran, panduan untuk mencapai kebahagiaan bahkan di dunia ini.

 

Tema lain yang ada di banyak surah Al-Qur'an adalah sejarah suci dan narasi yang berhubungan dengan para nabi zaman dahulu dan kaumnya. Sejarah suci ini membatasi diri hampir sepenuhnya pada tradisi Ibrahim dan para nabi Israel, meskipun beberapa nabi Arab yang tidak ditemukan dalam Alkitab juga disebutkan. Namun, pentingnya sejarah suci ini dimaksudkan untuk bersifat universal, karena wahyu Islam ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan kepada orang-orang tertentu, seperti halnya Yudaisme.

 

Bagi umat Islam, sejarah suci yang diriwayatkan dalam Alquran diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi; ini bukan sekadar kumpulan laporan yang didengar dari sumber-sumber Yahudi atau Kristen. Sebenarnya ada perbedaan halus antara catatan Alkitab dan Al-Qur'an tentang sejarah suci. Sementara kisah-kisah Alkitab memiliki sifat yang lebih historis, sejarah suci Alquran lebih bersifat ahistoris dan diturunkan terutama untuk mengajarkan pelajaran etika dan spiritual. Sejarah suci Al-Qur'an lebih dilihat sebagai peristiwa di dalam jiwa manusia daripada hanya sebagai peristiwa sejarah di dunia. Semua manusia memiliki di dalam diri mereka, misalnya, sifat-sifat Musa dan Firaun, kecantikan Yusuf dan tipu muslihat saudara-saudaranya; sejarah suci ini adalah sarana untuk mengajar umat Islam tentang jiwa mereka sendiri serta tentang yang baik dan yang jahat dan kemenangan akhir kebaikan atas kejahatan, jika seseorang meminta bantuan kepada Tuhan, mencari Pertolongan-Nya, dan memiliki kepercayaan kepada-Nya sepanjang cobaan hidup, seperti yang dilakukan para nabi zaman dahulu.

 

Pandangan tradisional tentang sejarah agama biasanya berkaitan dengan eskatologi, dan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Al-Qur'an memandang sejarah sebagai realitas terbatas yang dimulai dengan penciptaan manusia saat ini oleh Tuhan dan diakhiri dengan Dia membawa manusia dan sejarah kosmis ke akhir eskatologisnya. Konsepsi Al-Qur'an tentang perjalanan waktu dalam arti tertentu bersifat siklus: setiap siklus ditandai dengan turunnya suatu pesan dari Tuhan melalui seorang nabi, secara berangsur-angsur melupakan pesan tersebut oleh orang-orang tertentu kepada siapa pesan itu dikirim, dan biasanya terjadinya dari bencana yang dikehendaki Tuhan, diikuti dengan kedatangan seorang nabi baru. Tapi siklus nubuatan ini bukannya tanpa akhir.

 

Sebaliknya, Al-Quran mengumumkan bahwa Nabi Islam adalah Penutup para nabi (33:40) dalam rantai kenabian dan bahwa setelah dia tidak akan datang nabi lain, tetapi peristiwa eskatologis yang menandai akhir dunia ini dan umat manusia saat ini. Al-Qur'an juga mengisyaratkan kemungkinan setelah penghancuran dunia ini suatu ciptaan baru oleh Tuhan, sebuah masalah, yang bagaimanapun, berada di luar perhatian umat manusia saat ini, yang ditujukan kepada Al-Qur'an (lihat 14:19, 48; 35 :15).

 

Deskripsi peristiwa eskatologis yang berkaitan dengan individu dan masyarakat manusia serta kosmos merupakan pusat pesan Al-Qur'an. Banyak bagian di seluruh Teks Suci berbicara tentang kematian, Kebangkitan, Penghakiman Ilahi, Firdaus, Neraka, dan implikasinya Api Penyucian serta akhir akhir umat manusia. Al-Qur'an mengungkapkan realitas eskatologis ini dalam bahasa yang paling kuat, konkret, dan sekaligus sangat simbolis. Akhirat disajikan sedemikian rupa sehingga tetap menjadi realitas konstan dalam kesadaran umat Islam sepanjang hidup mereka di dunia yang lebih rendah ini (al-dunya). Kenikmatan surga serta siksa neraka yang mengerikan dijelaskan sedemikian rupa sehingga meninggalkan efek yang tak terhapuskan pada pikiran dan jiwa orang beriman, sangat mempengaruhi tindakan dan pikiran mereka di dunia ini. Selain itu, bahasa Al-Qur'an sekaligus konkret dan sensual, untuk dipahami oleh orang beriman yang paling sederhana, dan simbolis dan metafisik, untuk memenuhi kebutuhan orang bijak dan orang suci. Kenikmatan surga yang dijelaskan dalam Al-Qur'an bukanlah sublimasi dari kenikmatan duniawi, seperti yang diklaim beberapa orang; tetapi kesenangan duniawi, baik yang diperbolehkan bagi umat Islam dalam kehidupan ini maupun yang tidak, seperti anggur, disajikan sebagai refleksi duniawi dari realitas surga.

 

Al-Qur'an juga merupakan kitab pengetahuan, dan bagi umat Islam mengandung akar dari semua pengetahuan otentik seperti yang dipahami secara tradisional, tidak seperti yang terlihat oleh beberapa komentator ilmiah modern yang berusaha untuk mengidentifikasi berbagai ayat Kitab Mulia dengan teori atau ilmu pengetahuan terkini ini atau itu. penemuan. Dalam peradaban Islam tradisional, semua ilmu Islam, dari yurisprudensi hingga astronomi, dari teologi hingga kedokteran, dianggap berakar dari Al-Qur'an; pada kenyataannya, semua pemikiran dan seni Islam dapat dilihat sebagai komentarnya. Fakta bahwa turunnya Al-Qur'an tidak hanya mengarah pada fondasi salah satu peradaban besar dunia, tetapi juga pada penciptaan salah satu tradisi ilmiah, filosofis, dan artistik utama dalam sejarah global bukanlah suatu kebetulan. Tanpa munculnya Al-Qur'an, tidak akan ada ilmu-ilmu Islam seperti yang kita kenal, ilmu-ilmu yang kemudian dibawa ke Barat dan karena itu kita tidak akan memiliki kata-kata seperti "aljabar", "algoritma", dan banyak istilah ilmiah lainnya. Asal bahasa Arab dalam bahasa Inggris. Juga tidak akan ada Summas St. Thomas Aquinas, setidaknya dalam bentuk yang ada, karena Summas ini mengandung begitu banyak ide yang diambil dari sumber-sumber Islam.

 

Pesan Al-Qur'an tidak hanya menjadi dasar bagi pengembangan ilmu-ilmu Islam, tetapi juga tetap menjadi realitas esensial dalam penciptaan seni Islam, yang prinsip-prinsipnya berasal dari ḥaqīqah, atau kebenaran batin, Al-Qur'an. Kitab suci Islam selama berabad-abad telah memberikan prinsip-prinsip serta inspirasi bagi seni Islam suci dari kaligrafi hingga arsitektur. Ajarannya juga telah menyalurkan kreativitas seni Islam ke arah tertentu dan memberikan konteks sosial bagi penciptaan karya seni Islam. Fakta bahwa peradaban Islam telah menghasilkan begitu banyak puisi yang luar biasa, tetapi secara praktis tidak ada pahatan konsekuensinya, dan fakta bahwa kaligrafi begitu sentral dalam kehidupan Muslim, berhubungan langsung dengan pesan Al-Qur'an, baik dalam bentuk maupun isinya. Juga berasal dari Al-Qur'an adalah penentuan apa yang merupakan seni suci, domain apa yang penting dalam seni tradisional, dan apa hierarki seni dalam peradaban Islam.

 

Pesan Alquran tentang agama bersifat universal. Bahkan ketika berbicara tentang Islam, itu mengacu tidak hanya pada agama yang diwahyukan melalui Nabi Islam, tetapi juga pada ketundukan kepada Tuhan secara umum. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur'an Ibrahim dan Yesus juga disebut muslim dalam arti "penyerah". Pesan Al-Quran didasarkan pada universalitas wahyu, dan Teks Suci menyatakan secara eksplisit bahwa tidak ada orang yang tidak dikirim oleh Tuhan seorang utusan, seperti dalam 16:36: Kami benar-benar mengutus seorang utusan kepada setiap komunitas, “Sembahlah Tuhan, dan jauhi dewa-dewa palsu!”.

Perspektif universalis ini memiliki efek terbesar pada hubungan antara Muslim dan pengikut agama lain, baik secara praktis maupun intelektual, sepanjang sejarah Islam. Karena pesan Al-Qur'an bahwa sebelum zaman modern umat Islam adalah orang pertama yang mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai ilmu agama, atau Religionswissenschaft, dan menulis secara ilmiah tentang agama lain, termasuk agama non-Abraham. yang, seperti yang kita lihat dalam Indica of Abū Rayḥān al-Bīrūnī (w. 442/1048), ditulis seribu tahun yang lalu. Untuk alasan yang sama bahwa lebih dari tujuh abad yang lalu para peramal dan orang bijak Muslim seperti Ibn ʿArabī (w. 638/1240) dan Jalāl al-Dīn al Rūmī (w. 672/1273) menulis tentang kesatuan batin agama-agama, dan agaknya kemudian para sufi di India melakukan dialog agama berdasarkan saling pengertian dengan otoritas Hindu dan menerjemahkan teks suci Hindu dari bahasa Sanskerta ke Persia, dan beberapa di Cina menciptakan karya yang dapat disebut "Neo-Konfusianisme Islam".

 

Pesan Al-Qur'an sekaligus bijaksana dan praktis, legal dan moral, berkaitan dengan masalah sehari-hari serta kehidupan spiritual dan intelektual. Teks Suci berurusan dengan setiap aspek perhatian manusia, dari pertanyaan intelektual terdalam dan masalah spiritual yang paling tinggi hingga hal-hal duniawi dari kehidupan sehari-hari. Ini sekaligus terapi dan didaktik. Ini adalah pesan kabar gembira (bishārah) dan juga peringatan (nadhr). Itulah sebabnya ia menyebut para nabi, termasuk Nabi Islam, sebagai pembawa berita gembira (basyir) dan pemberi peringatan bagi umat manusia (nadzīr). Ini adalah panduan untuk setiap aspek kehidupan, tindakan, dan pemikiran manusia yang dapat dibayangkan, namun juga merupakan kenyamanan bagi jiwa orang beriman. Sebagai teofani sentral Islam, sebuah teofani yang setiap aspeknya dianggap suci, Al-Qur'an adalah sumber dari semua yang berbicara Islami dengan benar. Sebagai Sabda Allah yang hidup, ia adalah pendamping umat Islam di mana-mana dari buaian hingga liang kubur dan menyediakan ruang spiritual dan religius di mana mereka dilahirkan, bernafas, hidup, dan mati.

 

Dikutip dari buku The Study Quran: A New Translation and Commentary.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

The Study Quran: A New Translation and Commentary pdf


Trend Studi Islam dan Pendidikan Islam di Asia Tenggara Kontemporer

Diambil dari geotimes.id

Perkembangan pendidikan Islam di Asia Tenggara sangat luar biasa dan mendapat dukungan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak pemerintah yang mendukung berdirinya lembaga pendidikan Islam baik secara finansial maupun administratif.

Dalam perkembangan yang lebih baru, sebuah universitas internasional khusus, yaitu Universitas Islam Internasional Malaysia didirikan. Universitas menggunakan metodologi unik dalam sistem pendidikannya, dengan Islam sebagai inti dari yayasannya. Pada saat yang sama, pengetahuan yang secara longgar diberi label konvensional atau barat oleh sebagian orang, tidak diabaikan. Pendekatannya bersifat sinergis dan beragam.

 

Semakin banyak orang tua Muslim yang yakin bahwa lembaga pendidikan yang mencakup kedua parameter pendidikan dalam konten dan lingkungan mereka menawarkan pilihan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Menariknya, sebuah institusi seperti International Islamic University of Malaysia menarik non-Muslim untuk belajar dan bekerja di universitas tersebut. Saat ini, banyak sekolah yang menyandang nama ‘sekolah agama Islam’ atau mengusung perspektif serupa mendapat dukungan kuat dari komunitas Muslim. Di Malaysia, tentu berkembang. Di bagian lain Asia Tenggara, sistem ini mulai populer.

 

Yang penting Islam menjadi pilar sistem pendidikan ini. Produk dari sistem pendidikan ini, yaitu peserta didik juga harus dididik untuk hidup sesuai dengan ajaran Islam. Hidup diatur oleh ajaran Islam kurang memperhatikan aktivitasnya. Untuk segera memiliki institusi yang komprehensif dan maju belum tentu bisa dilakukan semua orang. Inisiatif, usaha dan kemauan yang kuat akan membantu mewujudkan pendirian lembaga tersebut secara bertahap.

 

Aspek penting lainnya adalah pemilihan dan pelatihan guru. Guru tidak boleh dianggap tahu apa yang harus dilakukan. Secara alami, mereka harus memenuhi kriteria yang diperlukan. Namun, jika bagian pengembangan sumber daya manusia tidak mendapat perhatian yang serius, mereka mungkin tidak dapat mengatasi tidak hanya tanggung jawab akademik, tetapi juga dalam memahami arah institusi. Oleh karena itu, modul pelatihan holistik harus dikembangkan dan kinerjanya terus dipantau agar memenuhi standar yang dipersyaratkan.

 

Yang benar-benar mencirikan sekolah atau lembaga menjadi Islam bukanlah namanya. Filosofi, konten, lingkungan, dan kepemimpinanlah yang memberikan kelengkapan pada sistem. Ketika mereka berada di tempat yang baik, kita harus dapat memprediksi hasil positifnya. Idealnya, sistem yang baik adalah sistem yang mampu menggali dan menyebarkan ilmu pengetahuan dari sumber aslinya, yakni wahyu-wahyu Ilahi yang dipadukan dengan modernitas. Disiplin spesialisasi harus bervariasi dan cukup untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Pada akhirnya, para profesional saleh yang berwawasan global harus mampu memimpin dunia. Pengetahuan benar-benar diterjemahkan untuk melayani kesejahteraan masyarakat. Era kejayaan peradaban mungkin akan muncul kembali.

 

Dikutip dari pernyataan Dr. Khairul ‘Azmi Mohammad dalam Introduction-nya dalam buku Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia pdf

Fikih Kebinekaan

Diambil dari nasional.kompas.com

Istilah “Fikih Kebinekaan” merefleksikan semangat dan karakter fikih itu sendiri; meniscayakan kekayaan perspektif dan memberi ruang perbedaan pemahaman dalam mendialogkan teks-teks keagamaan (Al-Quran dan Hadis) dengan realitas masyarakat yang berbeda-beda. Tradisi menghargai perbedaan pendapat dan pilihan praktik dalam konteks hubungan sosial dan politik telah mengakar kuat dalam kajian-kajian fikih klasik. Meskipun tak jarang kepentingan hegemoni politik penguasa dimana mazhab fikih itu berkembang meminggirkan bahkan memberangus pemikiran-pemikiran lain yang dianggap menyimpang. Tragedi semacam ini dikenal dalam sejarah sebagai mihnah (inkuisisi), biasanya diikuti oleh pelarangan dan penghancuran buku-buku yang dituduh membahayakan (bibliosida).

M. Hasbi Ash Shiddieqy (1904-1975), ulama terkemuka kelahiran Aceh, pernah menggagas istilah yang seayun dengan Fikih Kebinekaan, yaitu Fikih Indonesia. Pemahaman fikih sangat dinamis, utamanya dalam ranah sosial-kemasyarakatan (mu’âmalah) dan politik (siyâsah). Hasbi menggarisbawahi pentingnya ketetapan fikih mempertimbangkan kecocokan dan kebutuhan masyarakat Indonesia agar produk fikih tidak tercerabut dari konteksnya. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang belum terjawab sehingga tanggap terhadap perubahan sosial-politik (Suhirman, Al-Mawarid, 2010). Buku ini membahas tiga topik utama yang menjadi bagian penting dalam kajian fikih mu’âmalah dan fikih siyâsah kontemporer, yaitu konsep ummah (citizenship) yang lebih terbuka dan egaliter, hubungan mayoritas-minoritas dalam relasi setara tanpa diskriminasi, dan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk yang menempatkan minoritas punya hak politik yang sama dengan mayoritas. Pembahasan ketiga topik tersebut berangkat dari perspektif Islam dengan mempertimbangkan konteks kekinian dalam kerangka negara-bangsa. Di sini, Fikih Kebinekaan mengkaji ulang konsep kewarganegaraan, hubungan sosial antar-kelompok, dan kepemimpinan politik dengan mengacu pada prinsip kesetaraan dan keadilan.

 

Dari sudut pandang diskursus keagamaan, kehadiran buku ini memiliki makna penting bagi proses pendewasaan demokratisasi politik yang bergulir pasca Orde Baru karena memberikan jawaban atas isu-isu krusial: konsep kewarganegaraan, relasi sosial antar kelompok yang majemuk, dan kepemimpinan politik. Kajian fikih klasik mainstream menjadikan agama sebagai basis legitimasi hak-hak politik. Orang yang berbeda agama tidak berhak mendapat pengakuan dan perlakuan politik yang sama. Kerangka Fikih Kebinekaan membuka tafsir baru atas persoalan tersebut dijiwai kesadaran kebangsaan yang inklusif, sejalan dengan tujuan negara menurut Al-Quran dan Hadis. Fikih Kebinekaan juga menjadi antitesis dari ancaman gejala intoleransi dan sektarianisme yang menguat dalam beberapa tahun terakhir ini. Kekerasan dan konflik sektarianisme di Timur Tengah yang belum terlihat surut harus menjadi cermin bagi Indonesia agar tidak terjerumus ke lubang yang sama. Membudayakan pemahaman keagamaan yang terbuka dan non-diskriminatif, terutama di lingkungan pendidikan dan generasi muda, akan membendung gejala penyesatan (takfirisme) yang kian mencemaskan. Singkat kata, Fikih Kebinekaan merupakan upaya ijtihadi Islam berkemajuan dalam kerangka keindonesiaan dan kemanusiaan.

 

Dikutip dari Buku Fikih Kebinekaan.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Fikih Kebinekaan pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer